Apollo dan Icarus

 

Tablo reader up chevron

Prologue

 

 

I loved you as Icarus loved the sun,
too close, too much

- David Jones

 

 

 

Ini kebiasaan buruknya yang sulit dihilangkan.

Mendapati dirinya terbangun di ranjang yang bukan ranjangnya.

Hong Jisoo selalu mengalami disorientasi tiap bangun di pagi hari, matanya akan mengerjap beberapa kali selagi kepalanya mengira-ira sedang berada di mana ia saat ini. Ini bukan kamarnya, interiornya tidak seperti ini. Ini bukan ranjangnya, miliknya tidak sebesar ini. Ini bahkan bukan selimut—oh. Ia menyadari bukan hanya selimut yang kini tengah membungkus tubuhnya, ada sebuah tangan yang memeluk pinggangnya dengan posesif tanpa tanda-tanda akan melepaskannya.

Dan bagai kepingan puzzle yang akhirnya dapat ia susun, semuanya langsung jelas ketika melihat sosok yang masih tertidur di sampingnya.

Ia lagi-lagi menginap di apartemen Choi Seungcheol.

Jisoo sudah mengakui ini sebagai kebiasaan buruk, tapi sulit sekali untuk tidak melakukannya. Sulit untuk tidak berlama-lama di apartemen milik mahasiswa Bisnis satu itu tiap kali mereka pulang dari kampus dan Seungcheol menolak untuk langsung mengantar Jisoo ke kontrakannya sendiri. Jauh lebih sulit lagi karena selalu Seungcheol yang mempersuasinya untuk bermalam, pemuda itu cukup membisikinya kata-kata manis dan detik itu juga Jisoo rela melakukan apa pun. Apa pun untuk Choi Seungcheol.

 

‘Aku tidak ingin mengantarmu pulang sekarang, tinggallah bersamaku malam ini’

‘Ya, ya, jika itu yang kauinginkan’

 

Jisoo mendesah, ia merasa seperti boneka tali yang digerakkan oleh seorang dalang tiap kali sedang bersama pemuda itu. Dalam kasus ini, Seungcheol dalangnya. Ia bahkan tidak bisa protes karena, well, ini Seungcheol yang ia bicarakan. Pemuda itu hanya perlu meminta untuk membuatnya melakukan sesuatu. Dan Seungcheol selalu meminta.

Jeonghan pasti akan mencela, itu satu hal yang pertama terlintas di kepalanya selagi tubuhnya masih belum juga dapat terbebas dari pelukan Seungcheol. Pelukan ini memberinya waktu untuk berpikir, berhubung Seungcheol sendiri pun masih pulas dalam tidurnya. Jisoo memiringkan kepala untuk melirik pemuda yang lebih tua beberapa bulan darinya, wajahnya ketika sedang tidur sungguh sangat inosen. Ia mau tidak mau tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Aneh, sesungguhnya, melihat Seungcheol seperti ini. Satu-satunya momen di mana Seungcheol tidak menampilkan kesan majestiknya hanya ketika ia sedang tertidur. Ia tertidur seperti bayi kecil.

Jika mengingat apa yang sanggup Choi Seungcheol lakukan padanya semalam akan sangat kontras ketika melihat pemandangan ini.

Jisoo tidak dapat menahan diri untuk mengelus pipi Seungcheol dengan tangannya yang bebas.

Hangat, Seungcheol selalu hangat. Itu yang Jisoo sukai darinya, Seungcheol memiliki sebuah kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya dari orang lain. Temperatur pendingin ruangan di pagi hari yang biasanya menusuk tidak begitu terasa dengan tubuh Seungcheol yang merapat padanya.

Mata yang sedari tadi tertutup itu akhirnya membuka seiring dengan belaian tangan Jisoo yang konstan. Seungcheol yang baru bangun tidur mengeluarkan kuapan lebar sambil merenggangkan tubuh, otomatis membebaskan tubuh Jisoo yang sebelumnya ia perangkap dalam pelukannya. “Mmm, pagi.” Sapanya dengan suara sedikit serak.

Morning, sleepyhead.” Jisoo tertawa kecil, tubuhnya beringsut mendekat, tidak menginginkan adanya jarak antara dirinya dan sang kekasih. Ini seperti tarikan magnet yang ia sendiri tidak dapat pahami, ia selalu ingin mendekat pada Seungcheol tanpa alasan yang jelas. Kepalanya menyender di bahu pemuda dengan rambut gelap acak-acakan itu, “Bagaimana tidurmu?”

Seungcheol meraih kembali pinggang Jisoo dan menarik pemuda itu dalam pelukannya. “Nyenyak.” Ia lalu memberikan ciuman-ciuman kecil di sepanjang garis rahang Jisoo, yang memberikan efek kekasihnya mengerang kegelian. Seringaiannya muncul, “Karena aku memelukmu sepanjang malam.”

Jisoo tidak tersipu mendengar itu. Ia mengeluarkan deheman pelan. “Oke, tapi sekarang aku butuh kau untuk melepaskanku dan membiarkanku meninggalkan ranjang ini.”

“Tidak akan pernah. Aku suka kombinasi antara kau dan ranjangku.”

Ia mati-matian menahan diri untuk tidak mengatakan, aku juga, aku suka berada di ranjang ini bersamamu. “Seungcheol, ini hampir jam sembilan.”

“Kelasmu baru mulai jam satu nanti.”

“Yeah, tapi Jeonghan, Mingyu, dan Junhui pasti akan bertanya-tanya jika aku belum pulang juga.”

Seungcheol mengeluarkan geraman tidak suka ketika mendengar Jisoo menyebutkan nama-nama teman satu kontrakan pemuda itu. Toh, pelukan itu akhirnya dilonggarkan juga dan memberi akses bagi Jisoo untuk membebaskan diri.

“Mereka tidak suka padaku.”

Jisoo yang sedang berusaha keras untuk turun dari ranjang segera mengoreksi dengan sabar, “Mereka hanya belum mengenalmu.” Itu balasan yang selalu ia berikan, bahwa teman-temannya hanya belum mengenal Seungcheol dengan cukup baik untuk dapat menyukai kekasihnya. Sejujurnya, ia tidak bisa menyalahkan penghakiman teman-temannya jika mengingat reputasi Choi Seungcheol selama ini di kampus. Tapi itu dia poinnya, selalu ada sisi lain dari sebuah cerita. Jisoo tentu saja tidak akan terima jika teman-temannya terang-terangan tidak menyetujui hubungannya hanya karena belum pernah melihat sisi lain dari Choi Seungcheol yang membuatnya jatuh cinta.

Ia akhirnya kini berhasil menuruni ranjang king size yang ada di kamar utama Seungcheol, hanya untuk menyadari tubuhnya sebelum ini hanya terbungkus oleh selimut. Dan tanpa selimut yang membungkus, ia praktisnya tidak mengenakan apa pun.

Bukan berarti ia peduli.

Seungcheol yang peduli. Ia berdecak, masih dengan posisi berbaring di ranjang. “Sayang, pakai bajumu dulu. Kau tidak mau membuatku menyerangmu lagi, kan?”

Jisoo hanya meloloskan tawa pelan, tapi dengan enggan tetap memungut juga pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia meraih kaus putih yang tergeletak dan memakainya asal-asalan, tidak ambil pusing bahwa itu adalah kaus Seungcheol yang sekarang ia kenakan. Kebesaran sedikit di tubuhnya, tapi ia suka. Ada wangi tubuh Seungcheol yang khas di kaus itu, membuat Jisoo bisa beranggapan sepanjang hari nanti ia membawa sebagian dari diri kekasihnya dengannya. Dan juga karena ia tahu Seungcheol adalah seorang yang sangat teritorial, pemuda dua puluh satu tahun itu selalu suka menandai apa yang menjadi miliknya.

Setelah berpakaian lebih layak, Jisoo kembali mendekati sisi ranjang sang kekasih. “Aku temui kau di kampus?”

Seungcheol hanya menggumamkan ‘hm’ pelan sebagai jawaban selagi matanya kembali terpejam. Ia mengerang ketika Jisoo memberikan kecupan ringan di bibirnya, “Shoo, shoo, aku bisa berubah pikiran untuk menarikmu lagi dan tidak akan membiarkanmu pergi kali ini jika kau masih menyentuhku.”

Jisoo terkekeh. Ia sadar betul Seungcheol dapat melakukan itu, dan ia mungkin benar-benar akan berakhir dengan menghabiskan sepanjang hari dengan berada di ranjang bersama kekasihnya jika Seungcheol mempersuasi lebih keras.

 

Jam weker di atas nakas menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit ketika Jisoo meninggalkan kamar itu.

 

 

 

 

 

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...

Chapter 1: You are loved by a god, Icarus

 

They know you walk like you’re a god,
they can’t believe I made you weak

- Halsey

 

 

 

Yoon Jeonghan sudah menantinya di depan pintu dengan tangan terlipat di depan dada dan wajah ditekuk.

Tentu saja itu akan menjadi pemandangan pertama yang dilihat Jisoo ketika pulang ke kontrakannya pagi hari ini.

Jika ini situasi yang berbeda, Jisoo pasti akan berkomentar ‘kau mirip dengan pajangan boneka kucing di toko’, tapi ia tahu ini bukan momen yang tepat untuk mengeluarkan candaan jika melihat tanduk imajiner yang ada di kepala pemuda berambut panjang itu.

“Oh, akhirnya pulang juga, lover boy. Ini sudah yang keberapa kalinya dalam seminggu, hm?” Belum apa-apa Jeonghan sudah menyalak sebelum Jisoo bahkan sempat memberikan sapaan.

Karena Jisoo sedang tidak ingin dihakimi saat ini, jadi ia hanya mengibaskan tangan dan berjalan melewati Jeonghan begitu saja.

Ya, Hong Jisoo, jangan berani-beraninya kau mengabaikanku!” Jeonghan dapat mencegat langkah Jisoo dengan mudah, tangannya menahan lengan pemuda itu. “Alasan apa lagi kali ini? ‘Seungcheollie takut tidur sendirian dan minta ditemani’?”

Yoon Jeonghan dan sarkasme bukan barang baru di telinga Jisoo, ia sudah terbiasa dengan mulut tak difilter sahabatnya satu itu sejak mereka sama-sama masih mahasiswa baru di Pledis. Ia tidak pernah tersinggung sama sekali sebelumnya. Tapi tidak kali ini, tidak ketika lagi-lagi harus masalah ini yang menjadi bahan perdebatan. “Aku sungguh perlu alasan untuk menginap di apartemen pacarku sendiri?”

“Tsk, jika kau begitu senang menghabiskan waktu di sana, kenapa tidak sekalian saja kau pindah dari kontrakan sempit ini untuk tinggal di apartemen mewah pacarmu?”

“Aku benar-benar akan mempertimbangkan itu jika kau masih bersikap seperti ini.”

Ia dapat melihat mata Jeonghan yang membulat begitu mendengar balasannya. Jeonghan membuka mulut, tapi lalu mengatupkannya lagi. Jisoo tahu itu pertanda sahabatnya baru saja kehabisan kata sebagai pembelaan, maka ia melepaskan diri dengan lembut dari pegangan itu. Ia tahu Jeonghan hanya sedang bersikap sebagai sahabat yang peduli, sungguh, ia bisa mengerti kenapa Jeonghan begitu protektif padanya jika menyangkut sang kekasih. Tapi ia sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan seorang diri tanpa perlu didikte oleh siapa pun.

“Hei,” lirihnya, menyentuh bahu Jeonghan dan meremasnya pelan. “aku tidak akan pindah dari rumah ini.” I’m not gonna leave you, you idiot. “Tapi kau juga tidak bisa melarangku jika aku menginap di tempat Seungcheol suatu waktu.”

“Choi Seungcheol adalah sumber masalah, dan kautahu itu.”

“Jeonghan,” Jisoo bergumam dengan nada lelah. Jeonghan mungkin bermaksud baik, hanya saja—“jangan...” Jangan.

“Aku sudah memperingatkanmu berulang kali. Jangan terlalu dekat dengan api, kau bisa terbakar.” Jeonghan mengeluarkan decakan keras. “Dammit, Jisoo, aku hanya ingin melindungimu dari kejatuhanmu sendiri.”

Jisoo hanya bisa terdiam. Ia ingin mengatakan:
Tapi, Jeonghan, jika itu untuk Choi Seungcheol, bukankah itu layak untuk dicoba?

 

Terbakar sekalipun sebagai hasil akhirnya.

 

Mulutnya masih tetap terkatup ketika Jeonghan berlalu meninggalkannya.

 

 

*

 

 

Jisoo mendatangi gedung fakultas Bisnis setelah kelasnya berakhir sore itu untuk mencari Seungcheol. Berhubung jurusan mereka berbeda—Jisoo sebagai mahasiswa Sastra Inggris, sementara Seungcheol mengambil jurusan Bisnis—mereka tidak berkuliah di gedung yang sama dan biasanya baru bisa bertemu jika salah satu dari mereka berkunjung ke gedung fakultas masing-masing. Tapi pemuda itu tidak kelihatan batang hidungnya di tempat tongkrongannya yang biasa. Jisoo tahu kelas Seungcheol juga harusnya sudah berakhir, tapi ia tetap ingin memastikan untuk mendatangi ruang kelas sang kekasih.

Di tangga, sebelum mencapai ruang kelas Seungcheol di lantai 2, ia berpapasan dengan Jeon Wonwoo—adik tingkat Seungcheol dari jurusan yang sama, sekaligus, cough, gebetan baru Yoon Jeonghan. Jisoo menghela napas lega ketika akhirnya berpapasan dengan orang yang ia kenali di gedung ini.

“Wonwoo.”

“Oh, Jisoo-hyung.” Wonwoo kelihatan terkejut dengan sapaan barusan, di tangannya ada empat buah buku teks tebal yang membuat kening Jisoo berkerut hanya dengan melihatnya. “Ada apa ke sini? Mencari Seungcheol-sunbae?”

“Yeah, kau lihat dia?”

“Seharian ini aku belum bertemu dengannya. Di kelas tadi juga dia tidak masuk.”

Alis Jisoo bertaut. Seungcheol bolos dari kelas bukan hal yang aneh, tapi kekasihnya harusnya menemuinya setelah kuliahnya berakhir, kan? Itu yang mereka sepakati tadi pagi. Ia baru ingin membuka mulut dan menanyakan pertanyaan lanjutan, tapi Wonwoo terlihat sekali sedang buru-buru dan harus berada di tempat lain saat ini. Jisoo akhirnya hanya bisa menyunggingkan senyuman lemah. “Oke, kalau begitu. Sampai ketemu besok, Wonwoo.”

“Sampai ketemu nanti malam, Hyung.” Wonwoo mengoreksi sambil nyengir kecil, satu kakinya menuruni anak tangga yang ada. “Jeonghan-hyung mengundangku untuk makan malam di kontrakan kalian malam ini. Katanya kalian mau masak.”

“Makan malam?” Tunggu, apa yang ia lewatkan? “Oh, benar, tentu saja.”

Tentu saja Yoon Jeonghan akan mengundang gebetannya untuk makan malam di kontrakan mereka tanpa mengabarkan dulu pada penghuni yang lain sebelumnya. Dan mereka mau masak, Wonwoo bilang, mungkin lebih tepatnya Jisoo dan yang lain yang memasak sementara Jeonghan bertugas layaknya mandor. Ia penasaran apa kira-kira reaksi Mingyu dan Junhui jika tahu.

Jisoo mengeluarkan ponselnya setelah meninggalkan gedung fakultas Bisnis dan mengirimkan pesan singkat untuk Seungcheol.

 

Kau di mana? :(

 

Balasannya datang lebih cepat dari yang ia duga.

 

Masih di kamarku, kemarilah

 

Ia tidak akan mengatakan tidak untuk ajakan itu.

 

 

*

 

 

Apartemen Seungcheol terletak di salah satu kawasan elit distrik Gangnam. Jisoo dan Junhui pernah melewati komplek gedung apartemen itu suatu waktu, dan mahasiswa Teknik Mesin yang satu angkatan di bawahnya itu langsung berseru dengan dagu yang nyaris jatuh, ‘Sial, hyung, beri tahu aku bagaimana cara menggaet chaebol seperti pacarmu ini!’. Jisoo biasanya hanya mengeluarkan tawa lemah sebagai jawaban jika komentar seperti itu ia dapatkan, membiarkan Junhui atau teman-temannya yang lain mengagumi aset yang Choi Seungcheol miliki tanpa berkomentar lebih jauh. Toh, tanpa butuh validasi apa pun, kekasihnya memang memiliki segalanya.

Putra tunggal dari konglomerat Choi yang merupakan pemilik yayasan kampus, sekaligus pewaris dari perusahaan yang masuk daftar teratas paling diminati oleh pemburu lowongan kerja di Seoul tiap tahunnya. Tidak heran hampir semua mahasiswa di kampus mereka akan melihat Seungcheol seperti semacam titisan dewa atau semacam itu. Jisoo bahkan yakin jika saja pemuda itu menghendaki, orang-orang akan dengan sukarela bersujud di kakinya hanya untuk mendapatkan cipratan anugerah dari sang dewa. Atau mungkin membangun altar pemujaan, siapa tahu? Setidaknya, itu kesan yang menempel di benak Jisoo ketika pertama kali melihat Choi Seungcheol.

Ada sesuatu yang begitu agung dari cara Seungcheol berjalan ketika melewatinya begitu saja di lapangan parkir kala itu. Dan Jisoo tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan pemuda Choi sejak saat itu.

Yeah, itu cerita lama di antara mereka, Jisoo pun yakin Seungcheol tidak akan ingat.

“Hei.”

Adalah sapaan pertamanya ketika memasuki apartemen sang kekasih—Seungcheol memberikannya password apartemen ini sejak kali pertama mengajak Jisoo bermalam—dan mendapati pemuda itu sedang duduk di sofa berbentuk L di ruang tengah hanya dengan mengenakan mantel mandi berwarna putih. Di tangan Seungcheol ada gelas berisi alkohol yang tinggal setengah, sementara botol wiski yang terbuka ada di atas meja.

“Hei.” Seungcheol membalas dengan mata masih terpejam ketika Jisoo menjatuhkan diri di sampingnya.

“Kupikir kau akan menemuiku di kampus.” Jisoo masih lanjut berbicara, dan tangannya meraih gelas yang ada di tangan Seungcheol untuk menaruhnya di meja. Keningnya berkerut, “Masih terlalu dini untuk minum, kan?”

Ada kekehan berat yang lolos dari mulut Seungcheol, matanya perlahan membuka. “Di belahan dunia lain sudah malam, Sayang.”

Jisoo hanya memutar mata, tapi tidak hendak mencela kebiasaan buruk kekasihnya.

Seungcheol mendadak saja melingkarkan tangannya di pinggang Jisoo, dengan mudah menarik pemuda yang lebih ringan darinya itu untuk duduk di atas pangkuannya.

“C-cheol!” Jisoo merasakan panas menjalar di pipinya seiring dengan tindakan Seungcheol yang tidak ia antisipasi. Walau ini bukan yang pertama kali dan sudah sering terjadi, ia rasa ia tidak akan pernah terbiasa dengan sentuhan tiba-tiba seperti ini.Tubuhnya bereaksi sesensitif itu pada Choi Seungcheol.

Kedua tangan Seungcheol memberikan pelukan erat pada pinggang Jisoo dengan gestur posesif, sementara kepalanya berada dengan nyaman di ceruk leher sang kekasih, menghirup aroma tubuh Jisoo sambil sesekali memberikan gigitan kecil.

"Kau memakai kausku?" Seungcheol berbisik tepat di telinga Jisoo ketika menyadari kaus putih kebesaran yang dikenakan pemuda bertubuh ramping itu. "Seharian berada di kampus dan bertemu orang-orang dengan memakai kausku?"

"Ng, y-yeah."

"Good boy." Dan ciuman bertubi-tubi di lehernya ia dapatkan secara instan setelah itu.

Ia sudah bilang sebelumnya bahwa Seungcheol adalah orang yang teritorial—menyebut pemuda itu posesif adalah understatement—Jisoo tahu benar kekasihnya menyukai hal-hal semacam ini. Bukan tanpa alasan Seungcheol selalu memastikan memberi tanda di bagian-bagian tubuh Jisoo yang dapat terlihat oleh umum, untuk mempertegas bahwa Hong Jisoo adalah miliknya dan miliknya seorang. Dan walau di awal ia akan merengek protes pada aksi Seungcheol, Jisoo sesungguhnya suka.

Ia tidak akan mengatakan itu keras-keras.

Jisoo hanya bisa pasrah sambil memejamkan mata, tangannya memegang erat tangan Seungcheol yang melingkar di pinggangnya, menerima perlakuan pemuda itu dengan sukarela. Seperti biasa. Terkadang ia pikir di mata Seungcheol ia adalah semacam guling pribadi yang dapat dipeluk dan diciumi sesuka hati. Bukan berarti Jisoo protes, ia suka titel itu.

Guling pribadi Choi Seungcheol yang menemani tidurnya sepanjang malam. Titel itu hanya miliknya seorang.

“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Jisoo berusaha untuk bersuara di tengah-tengah desahan yang keluar tanpa bisa dikontrol dari mulutnya. “Kenapa tidak ke kampus hari ini?”

Seungcheol menghentikan apa pun yang sedang ia lakukan dengan leher Jisoo, kepalanya berganti bersandar di bahu pemuda itu sambil mempererat pelukannya. “Hm, sebentar... ah, aku lupa kenapa.”

Bukan jawaban yang mengherankan, sungguh. Untuk orang yang berada di posisi seperti Seungcheol, apa pun tindakan yang ia perbuat kadangkala tidak diperlukan alasan. Ia melakukan sesuatu hanya karena ingin melakukannya, tanpa memikirkan konsekuensi yang didapat.

Dan mungkin karena itu sampai sekarang pun Jisoo tidak pernah berani bertanya apa alasan Seungcheol ketika pertama kali mengajaknya berkencan, karena ia takut ia tidak lebih hanya satu dari tindakan impulsif tanpa alasan yang dilakukan oleh Choi Seungcheol.

“Aku merindukanmu di kampus.” Akhirnya, itu yang Jisoo katakan, dengan nada sedikit merajuk. Tanpa memedulikan fakta bahwa baru tadi pagi mereka masih bergelung di atas ranjang yang sama, ia rasa ia akan selalu merindukan kekasihnya tiap kali mereka berjauhan atau tidak melakukan kontak fisik. Sentuhan Seungcheol begitu adiktif, dan ia bagai pecandu yang selalu menginginkan lebih. Tangannya memainkan jemari Seungcheol. “Aku mencarimu ke gedung fakultasmu, tapi kau tidak ada.”

Sorry about that, baby.” Satu ciuman di telinga Jisoo. “Aku akan mengabarimu lain kali jika aku bolos kuliah.”

Jisoo tidak tahan untuk tidak terkikik geli. Ini satu hal kecil yang ia sukai dari kekasihnya, Seungcheol bisa menjadi sosok yang sangat perhatian dan sanggup membuatnya melayang tinggi dengan apa pun yang pemuda itu ucapkan atau lakukan padanya. Berada di pelukan Seungcheol seperti ini, dengan suara Seungcheol yang membisiki lembut telinganya, Jisoo merasa sedang terbang.

Choi Seungcheol memberikannya sepasang sayap dan abiliti untuk melayang terbang setinggi mungkin tiap kali mereka bersama.

Jisoo memiringkan kepalanya untuk dapat melakukan kontak mata dengan sang kekasih. “Omong-omong, hari ini kau harus mengantarku pulang sebelum jam enam.”

Seungcheol mengangkat alis, keningnya beradu dengan kening Jisoo ketika ia membuka mulut. “Berikan aku alasan yang sangat bagus.”

“Jeonghan mengundang Wonwoo untuk makan malam hari ini, dan Jeonghan pasti butuh aku untuk menyiapkan makanan yang lezat agar Wonwoo terkesan.”

Oh, dengar itu, ia bahkan tidak perlu berkoordinasi dengan Yoon Jeonghan terlebih dahulu untuk dapat membaca taktik apa yang sedang dilakukan pemuda berambut panjang itu. Being a gentleman that he is, sudah kewajiban Jisoo untuk membantu proses pendekatan sahabatnya sendiri.

Debatable.” Seungcheol menatap lurus matanya dengan ekspresi tidak mau kalah. “Jeonghan dapat memesan makanan di luar tanpa perlu kau yang memasak.”

“Ini mungkin akan mengagetkanmu, tapi untuk mahasiswa perantau seperti kami, memesan makanan di restoran di akhir bulan sama mustahilnya dengan kemungkinan Hemingway bangkit dari kubur.”

Seungcheol mengeluarkan decakan dramatis sambil menggelengkan kepala, “Kau selalu sangat baik pada teman-temanmu.”

“Mereka akan melakukan hal yang sama padaku.”

Jisoo menyaksikan ekspresi sangsi di wajah Seungcheol setelah ia mengatakan kalimat itu. “Kalau begitu apa aku juga diundang untuk ikut makan malam bersama teman-temanmu nanti?”

Ah...

“Seungcheol...”

“Sesuai dugaan.”

“Hei.” Jisoo membalikkan tubuhnya, kali ini posisi mereka saling berhadapan dengan dirinya masih berada di atas pangkuan Seungcheol. “Beri mereka waktu.”

“Bukan masalah untukku.” Pemuda itu mengangkat bahu, belagak tidak peduli. “Sekarang, banyak yang harus kita lakukan sebelum jam enam tiba.”

Jisoo belum sempat bereaksi apa pun, mulutnya sudah lebih dulu dikunci dengan milik Seungcheol untuk membuatnya bungkam. Ketika sang kekasih membaringkan tubuhnya di atas sofa dan mulai menciumi lehernya, ia memejamkan mata.

 

 Jam enam sebaiknya masih lama.

 

 

 

 

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...
~

You might like Safira Hapsari's other books...