Sugar High

 

Tablo reader up chevron

Sugar High

Namanya Sugar, ia semanis namanya. Aromanya pun seperti permen. Bersamanya membuatku merasa seperti anak kecil yang akan selalu tergila-gila akan gula. Senyumnya semanis gulali, tawanya serenyah rice crispy, suaranya semerdu dan selembut cheesecake. Membayangkan bibirnya yang terlihat sesegar tart buah itu menyentuh bibirku ringan, seringan cotton candy, God!! Aku harus membuat janji temu dengan dokter dan memeriksa kadar gula darahku. Sepertinya aku kena diabetes.

Gadis itu datang hampir setiap hari, tak seperti pelanggan lainnya yang duduk di jajaran kursi di depan toko, alih-alih ia akan duduk di salah satu sisi island superbesar di dapur dan menontonku bekerja sambil tersenyum selebar cheshire cat. Aku jadi punya pikiran buruk tentang gadis itu. Mungkin ia psikopat atau semacamnya yang tengah merencanakan sesuatu yang buruk terhadap diriku. Tapi senyuman lebar dan mata berbinar itu telah membuat kupu-kupu di perutku berterbangan dan jantungku berdetak seribu mil permenit. Mungkin aku sedang terjangkit suatu penyakit mematikan atau mungkin juga karena aku memang sudah gila.

Sebuah cerita yang (mungkin) akan membuat air liurmu menetes.

Don't say I didn't warn you...

 

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...

Longass Prolog

"Sugar..." panggil Dev dengan suara manja.

Seorang gadis yang sedang menguleni adonan di seberang meja, mengangkat kepalanya sejenak untuk melihat siapa yang memanggilnya. Harusnya ia tak perlu melakukannya karena jika hanya telinganya saja yang berfungsi diantara semua inderanya pun, ia akan tetap mengenali suara itu. Suara yang telah mengisi sunyi dunianya akhir-akhir ini.

"Apa lagi maumu kali ini?" jawab gadis yang dipanggil Sugar itu ketus.

"Aku lapar." Sugar memutar matanya.

"Kau bisa minta dibuatkan makan sama Edy. Atau kau bisa minta Romeo membelikanmu makanan."

"Tapi aku pengennya makan masakanmu..." Dev masih merengek. Kini ia merebahkan kepalanya di meja, meletakkan dagunya disana dengan lengannya sebagai bantal. Ia melihat ke arah Sugar yang kini sibuk membagi adonan menjadi beberapa bagian dan mulai meratakan salah satu diantaranya dengan tangannya.

"Aku tak menerima pesanan dari siapapun. Aku hanya akan memasak pastry dan roti yang ada di daftar menu. Kau tahu itu."

"Tapi kau lebih jago dalam membuat hidangan asin. Bahkan masakanmu lebih enak dari masakan Edy." Dev menggerutu.

"Ha!! Ingatkan aku untuk tak pernah membuatkan makanan apapun untukmu,Dev!!" teriak Edy dari arah tangga, membuat Dev memutar matanya. Ia menyusurkan jemarinya di atas meja yang berlapis debu tepung dan mulai membuat pola-pola abstrak.

"Kau sarapan apa pagi ini?" tanya Sugar dengan suara jengah. Ia menuangkan selai blueberry di atas adonan yang telah diratakannya dengan tangan, menggulungnya, dan memasukkannya ke dalam salah satu loyang yang sudah dilapisi minyak diatasnya. Kemudian ia mengulang proses itu sampai semua adonan-adonan kecil yang telah dibaginya masuk ke dalam loyang, siap untuk diistirahatkan sebentar sebelum siap untuk dipanggang.

"Kopi." bisik Dev dengan suara pelan.

"Kau tahu Dev," Sugar memulai, dan Dev sudah bersiap dengan telinganya yang memang sudah tebal oleh omelan Sugar. Siapa yang mengira bibir mungil itu bisa mengeluarkan kata-kata pedas dengan kecepatan seribu mil perjam. "Kopi itu bukan termasuk sarapan. Kau harusnya makan dengan lebih layak. Breakfast is the most important meal in a day. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bisa kau menjalani harimu jika kau memulainya hanya dengan kopi."

"Um, hari yang bersemangat?" ujar Dev *pura-pura antusias.

"Wrong answer!!" hardik Sugar. Ia mengibaskan sisa tepung di tangannya kemudian berkacak pinggang menghadap Dev dengan wajah murkanya. "Aku tahu kau punya uang lebih dari cukup untuk membeli makanan yang layak, dan juga Romeo yang bisa kau minta untuk membelikan makanan. Tak seharusnya kau membuat tubuhmu menderita dengan makanan tak layak seperti itu. Banyak orang lain di luar sana yang bahkan untuk makan sekali sehari pun tak mampu." suara Sugar mulai meredup.

"Ya, mom." balasan dari Dev membuat Sugar kembali memutar matanya.

"Jadi kau ingin apa untuk makan siang ini? Sebelum aku berubah pikiran dan membiarkan pikiran keras kepalamu dimakan oleh perutmu sendiri yang lapar."

Dev melompat turun dari kursinya dan menghambur ke arah Sugar, membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. "Thank you Sugar." ia mengecup sebelah pipi Sugar dengan suara keras. "Um, bisa kau buatkan aku Sandwich?"

"No." tentu saja Sugar tak akan pernah membiarkannya makan makanan yang disebut Sugar sebagai 'makanan orang malas' itu. Dev tak habis pikir, padahal dalam sandwich itu ada roti sebagai karbohidrat, tomat, selada, acar sebagai sayuran, daging atau ikan dan telur sebagai protein. Bukankah itu sudah cukup sehat walaupun dibuat oleh orang malas? Tidak bagi Sugar.

"Kalau begitu terserah kamu lah..." Dev melepaskan pelukannya di tubuh Sugar dan kembali ke tempat duduknya di sisi lain meja untuk melihat Sugar mulai bekerja.

Sugar berjalan ke arah kulkas dan mengambil beberapa bahan makanan. Ia mengeluarkan labu, susu, bawang bombai, dan mentega.

"Kau mau bantu mengiris bawang?" tanya Sugar walaupun ia sudah tahu jawaban apa yang akan didapatnya.

"Tidak. Aku tak mau tanganku bau." dan memang itulah jawaban yang ada di pikirannya. Ia memutar mata dan mulai mengupas labu, membersihkan bijinya, dan memotong kecil-kecil. Setelah selesai, ia mulai mengupas bawang, dan juga memotongnya kecil-kecil.

"Bagaimana harimu, Dev?" tanya Sugar, berusaha sedikit mengalihkan Dev yang sedari tadi memperhatikannya. Ia kurang suka diperhatikan saat sedang bekerja.

"Yah, seperti biasa. Dari rumah ke kantor, meeting, tandatangan berkas, mendengarkan Romeo mengoceh tentang jadwalku, dan beberapa pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Seperti lagu lama." Sugar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai memanaskan mentega dalam panci sup, dan memasukkan bawang dan labu setelah mentega meleleh, dan mulai mengaduknya.

"Kau tak ingin tahu jadwalku?" goda Sugar.

"Aku sudah tahu bagaimana harimu, Sugar. Tiap hari sama, tak berubah. Ke pasar, membeli bahan kebutuhan restoran, pulang, dan mulai membuat roti sampai kau tidur lagi." Sugar tertawa mendengarnya. Bukan karena Dev benar, tapi bagaimana cara Dev menjelaskannya sambil menghitung jarinya dan menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari dengan mimik luculah yang membuat Sugar tertawa. "Sungguh, Sugar. Apa sih yang menarik dari itu semua? Bukankah itu membosankan?"

Sugar menggelengkan kepalanya, ia menambahkan susu dan thyme, mengurangi apinya, dan menutup pancinya. Kini ia berjalan ke arah Dev, dan duduk di pangkuannya, mengalungkan kedua lengannya di leher Dev, menatap kedua matanya lekat-lekat. "Menurutmu apa menariknya dengan kegiatanmu juga? Rapat kesana kemari, membaca berkas, dan memberikan coretan aneh yang mereka sebut tanda tangan itu. Duduk di sana seharian, pasti membuat pantatmu tebal." Sugar menggerutu, sambil memainkan ikal anak rambut Dev yang terlepas dari bun di puncak kepalanya.

"Walau pantat tebal, juga kau suka kan?" goda Dev. "Aku sering memergokimu sedang melihat pantatku dengan penuh nafsu, seakan kau ingin memakannya." Dev tertawa dan pura-pura hendak menggigit Sugar.

Sugar memberengut dan memukul pundak Dev sebal melihat betapa senangnya Dev menggodanya, berani taruhan sekarang mukanya pasti semerah pantat baboon. Ia melepaskan pelukannya di leher Dev dan beranjak pergi, tapi Dev segera menariknya kembali bahkan sebelum Sugar sempat berdiri.

"Kau imut kalau lagi marah." bisiknya di telinga Sugar. Ia mempertahankan wajahnya tetap di lekukan leher Sugar dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Sugar yang selalu saja beraroma vanila, lemon, dan roti yang baru matang, membuat air liur Dev menetes. Ia menyusurkan bibirnya di sepanjang lekukan leher Sugar yang jenjang, ingin merasakan apakah rasanya seenak aromanya?

"Dev..." Sugar berbisik, suaranya sedikit gemetar. Ia berusaha menjauhkan kepala Dev dari lehernya yang sensitif tapi tangannya sepertinya memiliki pikiran sendiri karena mereka sepertinya malah membuat kepala Dev makin dekat ke lehernya.

"Dev, stop!" Sugar kembali mengingatkan, ia tak ingin dipergoki seseorang sedang bermesraan dengan Dev di dapur, bukannya bekerja. Tapi Dev tak mengindahkan peringatan Sugar sama sekali, malahan ia semakin gencar 'memakan' Sugar.

Dev menyusurkan lidahnya di leher Sugar, merasakan manis tubuhnya, menggigiti kulit sensitif di belakang telinga Sugar, membuat Sugar merintih kecil, tubuhnya lunglai saat Dev menyerang bagian sensitif itu dengan gencarnya, nafasnya sedikit memburu. Sugar sangat yakin, pasti akan ada kiss mark ungu besar di sana.

Sugar masih saja merasakan Dev bermain-main di sana, kali ini ia menghisap dan menggigitnya pelan, membuat Sugar harus menahan erangannya dengan membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. Wajahnya sudah sangat merah, ia tak ingin Edy tiba-tiba datang karena mendengar erangan Sugar. Apa jadinya nanti jika Edy tahu kalau mereka sedang bermesraan di sini?

"D-Dev!!" Sugar memekik, saat dirasakan tangan Dev mulai merangkak naik dari pinggangnya. Ia harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat!

Sugar melompat berdiri, wajahnya merah, nafasnya terengah-engah. Ia menatap Dev dengan mata lebar, tak percaya apa yang baru saja ia lakukan padanya. Dev menatap balik Sugar, matanya berkabut dan masih sedikit berselimut gairah.

"Way to ruin the moment." gerutu Dev.

"Dan kau hampir saja membuat makan siangmu gosong!!" balas Sugar geram. Ia menambahkan garam dan merica ke dalam masakan itu, dan mengaduknya sebentar sebelum memindahkannya ke blender. Ia memutarnya hingga lembut, ia sengaja memilih memutarnya dengan tombol pulse. Sengaja berlama-lama, lebih karena tak ingin mendengar Dev menggerutu ke sana kemari tentang Sugar yang bersikap jual mahal.

'Hey, yang harus menanggung beban memalukan kiss mark itu siapa?!' teriak Sugar dalam kepalanya. Jika Edy atau salah satu pelayan melihatnya, ia tentu akan jadi bulan-bulanan mereka selama berhari-hari. Terutama Edy.

Setelah merasa campuran itu sudah terlalu halus, dan rasanya tak mungkin membuatnya lebih halus lagi sebagai alasan untuk memutarnya lebih lama lagi, Sugar menyaringnya. Ia meletakkan hasil saringan kembali ke panci dan memanaskannya kembali. Sugar mencicipinya, dan merasa cukup puas dengan hasil kerjanya. Ia membiarkan sup labunya mendidih sementara ia berjalan ke rak di sisi lain dapur untuk mengambil mangkuk. Begitu supnya mendidih, ia mematikan apinya dan menuangkan sup ke mangkuk, menaburkan potongan parsley di atasnya dan menghidangkannya di hadapan Dev, yang menatapnya dengan mata berbinar.

"Thanks Sugar." ia menarik wajah Sugar untuk memberikan kecupan singkat di bibirnya. Sugar segera kembali ke tempatnya semula untuk menyiapkan salad favorit Dev.

Ia mengeluarkan beberapa buah, selada, lemon, paprika, red onion, tuna asap, dan yoghurt. Ia memotong beberapa buah dan meletakannya di mangkuk. Ia memarut kulit lemon, dan meletakkannya si sudut talenan. Ia sempat mendengar Dev mengerang nikmat, dan bergumam tentang betapa enak masakan Sugar. Sesuatu seperti meleleh di mulut, begitu ringan dan lembut dan sebangsanya, membuat Sugar tersenyum kecil.

Ia menuangkan minyak zaitun, madu, dan memeras lemon ke dalam sebuah mangkuk. Ia menambahkan sedikit merica dan garam, dan mengocoknya hingga menyatu. Selanjutnya ia mencabik macam-macam selada seperti selada endive, selada keriting, selada iceberg, dan selada red cos, dan menatanya di dalam mangkuk lain. Ia mengiris paprika warna warni dan juga red onion dan menambahkan mereka ke dalam mangkuk yang sama bersama tuna asap.

"Sugar, kau harus mencicipinya! Ini luar biasa!!" Dev memekik dan melompat-lompat girang. Ia berdiri dan menempatkan sesendok penuh sup di depan wajah Sugar. Mau tak mau Sugar membuka mulutnya, membiarkan Dev menyuapkan sup ke mulutnya.

Dev menarik keluar sendok dari mulut Sugar dan secara otomatis, seperti kebiasaan lamanya, tanpa sadar membawanya ke mulutnya sendiri. Ia menatap Sugar dengan penuh harap, dengan mata berbinar, dan sebelah tangan memegang tangkai sendok yang menggantung dari mulutnya.

"Yup. Luar biasa." Sugar mengangguk-angguk, tapi tak terlalu antusias. "Like always." tambahnya dengan berbisik.

Dev memutar matanya dan kembali ke bangkunya. "Kau harus berhenti bersikap terlalu besar kepala." balas Dev, kini ia kembali menyuapkan sup ke mulutnya dan mengerang di setiap suapan.

"Aku mencium sesuatu yang enak." kata sebuah suara di pintu masuk, membuat Dev dan Sugar menoleh, melihat Edy berjalan ke arah mereka. Ia berdiri di sebelah Dev, dan mengambil alih sendok yang dipegangnya. Ia menyendokkan sup ke mulutnya dan mengerang.

"Tuh, kan!!!" Dev menunjuk Edy yang kembali menyendokkan sup ke mulutnya dengan penuh kemenangan. "Bukankah rasanya luar biasa?!"

"Aku harus menyembunyikanmu dan masakanmu dari semua pelanggan, atau aku akan kehilangan pekerjaanku!" Edy menggelengkan kepalanya, melihat Sugar dengan pandangan tak percaya.

Sementara yang masih menjadi bahan omongan itu, kini menuangkan saus salad di atas tumpukan sayur dan tuna asap, menaburkan sebagian kulit lemon yang tadi diparutnya, juga potongan parsley halus, dan menyajikannya di hadapan Edy dan Dev yang segera menyerbunya. Mereka kembali mengerang nikmat dan saling bergumam, selagi Sugar kembali ke tempatnya semula untuk membuat saus salad buahnya.

Ia menuangkan yoghurt ke dalam mangkuk, menambahkan madu, dan raspberry. Ia mengambil garpu dan menghancurkan raspberry itu dan mengaduknya bersama campuran yoghurt dan madu. Ia menuangkan saus berwarna pink dengan beberapa potongan kasar raspberry ke atas tumpukan buah yang tadi disiapkannya, dan menaburkan potongan pistachio dan sisa parutan kulit lemon di atasnya.

Ia kembali menyajikannya di hadapan Dev dan Edy yang juga kembali menyerbu salad buah itu dengan ganas. Sugar hanya bisa tersenyum kecil sementara ia menyendok sisa saus yoghurt di mangkuk saus, yang memang sengaja ia buat agak lebih banyak dari yang dibutuhkan.

"Sugar, oh Tuhan! Bagaimana kau bisa membuat sesuatu seperti ini?" Edy masih menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

"Karena memang aku lebih baik dari pada kau." Sugar kembali melempar, menunjuk Edy dengan sendok yang ia pakai untum menyuap saus salad buah, dan mengedipkan matanya genit. "Kau harus mengakuinya."

"Oke! Kau menang!" Edy mengangkat tangannya tanda menyerah.

"Marry me!" Edy berkata. Ia memegang kedua tangan Sugar dan menatapnya penuh harap.

"No you can't!" sela Dev. Ia mengambil tangan Sugar dari Edy, dan menariknya ke belakang tubuhnya. Menghalanginya dari pandangan Edy, yang melongo melihat kelakuan Dev. "Karena Sugar akan menikah denganku!" Dev mengangguk yakin.

Edy dan Sugar menatapnya dengan tak percaya. Dev masih saja mengangguk mantap dan wajahnya serius. Tak lama Sugar dan Edy tertawa terbahak-bahak bersamaan. Edy sampai terbungkuk-bungkuk dan mencengkeram perutnya kuat-kuat.

"AKU SERIUS!!!" Dev merengut dan menghentakkan kakinya, membuat Sugar dan Edy perlahan menghentikan tawa mereka. Sugar menyeka air mata di sudut matanya dan beralih ke Dev.

"Aku serius!" Dev kembali berkata, kali ini ia mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian turun dari bangkunya, dan berlutut di hadapan Sugar.

Ia membuka sebuah kotak kecil di hadapan Sugar, dan menengadahkan wajahnya menatap Sugar penuh harap. "Sugar, would you marry me?"

"Oh, shit!!" Edy berbisik. Ia menatap Dev dan Sugar bergantian. Suasana dapur menjadi sunyi. Hanya suara pelan ventilasi, oven, dan pendingin yang berdengung, juga 3 detak jantung yang lebih terdengar seperti sebuah pacuan kuda.

Dev masih berlutut di hadapan Sugar, memandangnya dengan penuh harap, sedikit cemas menunggu jawaban Sugar yang sedikit terlalu lama untuk situasi yang seharusnya mendapatkan jawaban sesegera mungkin. Begitupun Edy yang sekarang ikut memandang Sugar, ikut cemas dengan jawaban yang akan diberikan olehnya.

Sementara Sugar sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. Dev, berlutut di hadapannya dengan sebuah kotak kecil terbuka di depannya menampakkan sebuah cincin titanium dengan sebuah batu sebening kristal bersinar menyilaukan matanya. Itu batu paling besar yang pernah dilihat oleh Sugar, mungkin sebesar meteor yang jatuh di Meksiko berabad-abad lalu. Dan Dev memintanya untuk menikah dengannya?

Informasi ini bergerak secepat siput memasuki otaknya, dan menamparnya bagai godam, mengembalikan akal sehatnya ke tempatnya semula. Dev melamarnya? Oh, Tuhan!!!

Semua pikiran berkecamuk di dalam kepala Sugar, tapi wajahnya terlihat kosong, ia menatap kosong cincin itu, kemudian wajah Dev. Ia tak tahu harus bagaimana. Sesuatu, sebuah jawaban, sebuah niatan, sebuah harapan, semua sudah ada di ujung lidahnya, tapi lidahnya kelu. Ia ingin mengucapkannya pada Dev, ia ingin menghapus wajah cemas itu. Tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

Beberapa detik berlalu, wajah cemas penuh harap milik Dev sekarang meredup. Digantikan oleh ekspresi penuh kecewa, begitupun Edy. Ia melangkah ke samping Dev dan menepuk bahunya pelan penuh simpati.

Dev, beranjak bangkit. Ia akhirnya menyerah. Ternyata cintanya tak berbalas. Ia menunduk dan bangkit berdiri, tapi Sugar menahannya tetap di tempatnya semula. Dev memandang Sugar dengan penuh tanya.

Mereka kembali terdiam, waktu seakan membeku. Edy bahkan mematung, dengan sebelah tangan masih berada di pundak Dev. Akhirnya bisikan suara Sugar memecah keheningan itu.

"Wait, Dev. Aku..."

---

Ehem!!!

Tiba-tiba beberapa waktu lalu, rasanya aku pengen banget nulis cerita ini. Sampe kubela-belain beli beberapa buku resep, ketimbang nyari resep di internet.

I hope you all love it.

Just let me know what you think...

Over and out.

FantaC.

 

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...

Chapter 1

"Devika, selamat datang di Indonesia!! Apa alasan kepulanganmu kali ini?"

"Devika, apa kau sedang libur kuliah?" tentu saja. Buat apa aku disini jika sedang tak libur? Kaupikir aku akan dengan sengaja membolos kuliah. Pikir Dev dalam hati.

"Devika, apa kau ke Indonesia karena ada pekerjaan di sini?"

"Devika, bagaimana hubunganmu dengan Samuel? Kami dengar kalian sedang dalam masa break?" Memangnya apa hubunganku dengan Samuel ada hubungannya dengan mereka?

"Benarkah itu Devika?" Cari tahu saja sendiri.

"Apakah kalian benar mau menikah?" Siapa yang membuat gosip ini, katakan siapa?!?!?!

"Devika, kau akan tinggal di sini berapa lama?" Ini negara asalku, tempatku dilahirkan dan tumbuh besar. Akan berapa lama aku disini bukan urusan kalian.

Suara para reporter dan wartawan yang berkumpul di depan pintu Kedatangan Internasional salah satu bandara Internasional di Indonesia itu langsung terdengar semakin berisik dan memekakkan telinga begitu seseorang yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh mereka muncul.

Berdiri di sana, seorang gadis dengan tubuh tinggi dan langsing, ia bahkan lebih tinggi dari beberapa laki-laki di sekelilingnya, walaupun saat itu ia sedang mengenakan flat shoes.

Ia mengenakan skinny jeans hitam dan sweater abu-abu oversized hingga sebelah pundaknya terlihat. Rambut panjangnya yang sewarna perak dengan highlight hijau dan biru di ujungnya tampak kontras jika dibandingkan dengan para warga pribumi yang rata-rata memiliki rambut berwarna hitam. Ia mengenakan RayBan di atas kepalanya untuk menghalau anak-anak rambut yang menutupi wajahnya walaupun beberapa tetap lolos dan jatuh membingkai wajahnya yang oval dengan tulang pipi yang tinggi.

Gadis itu tersenyum manis, memamerkan gigi putihnya yang rapi diantara bibir merah mudanya yang terlihat begitu segar dan menggiurkan saat disandingkan dengan wajahnya yang putih bersih. Kulitnya yang pucat juga tampak bersinar dibawah sinar matahari tropis yang sekarang memang sedang bersinar cukup terik.

"Saya di sini hanya untuk mengisi liburan akhir semester. Mungkin hanya beberapa minggu saja disini sebelum harus berangkat lagi ke sana untuk wisuda." ucap gadis yang bernama Devika itu sambil tersenyum manis, walau didalam hatinya ia ingin meledak.

"Wah, kau sudah mau lulus ya? Bagaimana hubunganmu dengan Samuel? Kami dengar kalian sedang dalam masa break."

"Itu urusan pribadi saya. Sebaiknya hanya saya dan dia yang tahu. Lagipula urusan pribadi saya ini tidak berdampak langsung dengan pemanasan global, kan?" selorohnya sambil tertawa. Ia mulai sebal dengan ulah reporter-reporter itu yang sepertinya selalu ingin tahu tentang kehidupan pribadinya.

"Jika tidak ada yang lain, saya permisi dulu. Saya ingin segera sampai di rumah untuk istirahat." Dev berkata dengan suara cukup lantang untuk mengatasi suara para reporter yang terdengar seperti suara kerumunan nyamuk ketika mereka berbicara di saat yang bersamaan. Tak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, ia dibantu beberapa orang yang memang disewanya untuk mengawal kedatangannya di bandara berusaha membuat jalur menuju SUV yang sudah mengunggunya dengan pintu terbuka di jalur penjemputan penumpang.

Dev menyusup diantara salah satu pengawal dan Romeo yang Dev sebut sebagai 'orang suruhan'-nya. Begitu ia duduk di dalam, Romeo menyusulnya dan langsung menutup pintu. "Kau seharusnya tak berkata hal seperti itu tadi." hardiknya. Bahkan Dev belum sempat menarik nafas lega, tapi Romeo dan bibir super cerewetnya itu sudah menyemprotnya.

"Ro!! Kamu nggak kasihan sama aku? Aku baru aja datang, pantatku panas dan mati rasa karena duduk di pesawat semalaman. Aku bahkan belum sempat bernafas, tapi kau sudah menyemprotku!" ujar Dev sebal. "Kalau saja aku bisa cari 'pegawai serbaguna' lain." tambahnya sambil menggerutu.

"Oh, silahkan cari." tantang Romeo. "Kalau ada yang betah seminggu saja bersamamu, aku akan mendonasikan sebulan gajiku ke panti asuhan Tante Reta, dan jika kau yang kalah, kau akan menuruti semua perkataanku yang tak pernah kau dengarkan sekalipun. Walaupun kau tahu itu semua demi kebaikanmu juga, kan?"

"Ya, mum." Dev memutar matanya pelan. "Oke!! Aku terima tantanganmu!!" seru Dev antusias. Mereka saling mengangguk dan menjabat tangan masing-masing dengan mantap. Dev selanjutnya memasang sabuk pengaman dan duduk santai di kursinya, setelah terdengar pintu bagasi belakang di tutup, SUV hitam itu melaju memecah kerumunan reporter dan beberapa orang yang penasaran, menuju pusat kota.

"Eh, tapi..." bisik Dev pelan. "Itu berarti aku harus mengajari calon penggantimu itu dari awal dong. Dan membiasakannya dengan semua kebiasaanku. Seminggu saja tak akan cukup. Dan lagi belum kalau salah-salah. Bisa kacau semuanya..." Dev mengusap wajahnya dengan gemas. Ia tadi terlalu buru-buru mengambil keputusan. Ia tak memikirkan akibatnya.

Romeo tampak tersenyum penuh kemenangan. Dev, ya katakanlah Dev memang cukup dikenal banyak orang di Indonesia ini. Ia salah satu pebisnis tersukses dan termuda di negara ini. Di usianya yang baru menginjak 25 tahun, ia sudah memiliki korporasi sendiri dengan beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang kuliner dan fashion yang memiliki cabang di seluruh dunia. Ia sendiri juga bekerja sebagai model untuk beberapa majalah bisnis dan fashion. Terutama fashion.

Tak hanya Dev sendiri, keluarganya pun juga bisa dibilang merupakan orang terkemuka di negeri ini. Seperti misalnya Tante Reta yang tadi disebutkan oleh Romeo, beliau memiliki Yayasan Sosial yang berfokus pada kesejahteraan dan pendidikan anak-anak yatim piatu dan juga bagi yang kurang mampu. Yang tentu saja korporasi Dev yang menjadi donatur utamanya. Walaupun yayasan Tante Reta cukup besar, beliau tetap menyeleksi anak didiknya dengan seksama, sehingga mereka yang benar-benar membutuhkan lah yang mereka naungi.

Ya, diantara semua jadwal mengurusi korporasi dan karir modelnya, akan sangat sulit untuk mengaturnya jika kau memang tak terbiasa untuk mengaturnya. Saat ini semua berjalan dengan mulus hanya karena Sofi mengatur semua jadwalnya dengan ketat, dan Romeo memastikan Dev tidak berada terlalu lama di salah satu event hingga jadwal lain kadi berantakan. Juga karena Dev bisa dibilang memiliki sifat Obsessive dan cenderung Kompulsif, ia akan uring-uringan jika sesuatu tak berjalan sesuai perencanaannya.

"Ro, kenapa kita lewat sini?" ujar Dev saat sadar mereka bukannya melewati pusat kota untuk menuju kediamannya di pinggiran kota di sisi lain, mereka justru menuju salah satu pinggiran kota, dimana di sana banyak terdapat stasiun TV dan studio.

"Kita ada pemotretan hari ini. Untuk majalah milik Jo." balas Romeo singkat, membuat Dev mengerang dan duduk merosot dari kursinya.

"Kapan kalian akan berhenti memperlakukanku sebagai sapi perah?" Dev kembali mengerang dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang tersimpan di kantung kursi di depannya. "Bangunkan aku kalau sudah sampai."

"Sebenarnya kita sudah sampai." tepat saat Romeo menyelesaikan kalimatnya, SUV mereka berhenti di sebuah bangunan yang tampak seperti gudang bekas, walaupun sebenarnya bangunan ini adalah studio foto yang cukup terkemuka di kota itu. "Bangun dan bawa pantat malasmu itu keluar dari mobil ini, dan carilah uang yang banyak, Dev." dengan sekali sentakan, Romeo membuka seatbelt dan menarik selimut yang menutupi tubuh Dev.

"Ro, kenapa kau begitu membenciku...?" Dev cemberut, matanya melebar dan berkaca-kaca. Ia menampilkan wajah memelasnya sebaik mungkin. Siapa tahu Romeo akhirnya kalah dan berakhir membawa Dev pulang untuk bisa tidur di kasur empuknya.

Tapi, alih-alih Romeo malah menarik Dev berdiri dan memanggul Dev ke pundaknya, dan membawa Dev yang meronta dan mengamuk ke dalam studio.

"ROMEO!!! AKU BENAR-BENAR AKAN MEMECATMU!! LIAT SAJA NANTI...!!" ancam Dev, tapi Romeo justru terbahak-bahak saat mendengarnya.

"Oh, kau tahu, Dev. Aku kangen kau mengatakan hal itu kepadaku. Rasanya sudah sekian lama kau tak mengancam akan memecatku, aku jadi bertanya-tanya kapan kau akan mengancamku lagi." Romeo tertawa terbahak-bahak.

Mereka memasuki studio, masih dengan Dev yang menggerutu dan Romeo yang tertawa penuh kemenangan. Ia sesekali memukul pantat Dev untuk menghentikannya meronta dan berteriak, tapi Dev justru berteriak lebih kencang.

"Ro! Kenapa kau terus memukul pantatku?!" pekik Dev. "Kalau nanti tepos gimana?"

"Kau punya cukup banyak uang untuk membuat isian pantat palsu kan?" jawab Romeo seadanya, selagi menurunkan Devika dari pundaknya. Dev segera memasuki ruang ganti setelah menyambar kimono yang disodorkan oleh salah seorang asisten. Romeo melihat asisten itu dengan pandangan 'lapar'nya dan mengedipkan sebelah matanya, membuat asisten itu menunduk malu.

Kalau seorang Romeo mengedipkan matanya padamu, maka kau berhak untuk pingsan. Bagaimana tidak, Romeo pria paling tampan, bertubuh atletis, well cukup berotot tapi tak sampai berbonggol-bonggol untuk tubuh kurusnya. Ia tinggi, lebih tinggi dari Devika yang memiliki tinggi 178cm. Romeo berkulit sawo matang, akibat kegiatan jogging pagi rutinnya, lain dengan Devika yang kegiatan luar ruangannya berupa keluar-masuk mobil dan bangunan. Atau pemotretan luar ruangan yang mana jarang sekali terjadi.

"Kau pikir pantatku ini tahu isi, yang bisa seenaknya saja diisi dengan apapun agar tampak montok?" Devika menggerutu dari dalam ruang ganti. Ia keluar beberapa saat kemudian, kali ini hanya berbalut kimono, dan segera duduk di salah satu kursi di depan meja rias dimana para asisten kini sibuk mempersiapkan riasan dan tatapan rambutnya. "Aku berusaha keras untuk mendapatkan bokong indah ini tahu! Lagian kalau bokongmu palsu pasti rasanya aneh kalau kau sedang duduk kan? seperti duduk di atas bantal? eww.."

Dev terus saja menyerocos tentang ini dan itu, sementara Romeo duduk diam sambil membaca salah satu majalah fashion edisi terbaru yang menampilkan salah satu koleksi musim panas dari salah satu butik milik Dev, sementara para asisten yang menangani Dev sesekali tersenyum saat mendengar Dev berkomentar pedas tentang suatu hal.

"Devika..." sapa sebuah suara yang melantunkan nama Devika seakan itu adalah sebuah lirik dari sebuah lagu. Dan berdiri di sana, seorang pria bertubuh mungil dengan tulang-tulang yang menonjol dari beberapa bagian tubuhnya, hingga ia terlihat lebih mungil lagi. Kulitnya pucat, sepucat Dev, dan rambut bergelombangnya yang panjang kini diikatnya ke atas membentuk bun kecil, walau beberapa anak rambut terlepas dan menutupi dahinya.

"Jojo!!" sapa Dev. Laki-laki itu berjalan mendekati Dev, memeluknya erat dan pura-pura mencium kedua pipinya, karena saat ini Dev sedang di rias, dan ia tak ingin riasannya berantakan, dan asisten itu harus memulai semuanya kembali.

"Joshua." sapa Romeo. Joshua berbalik dan menunduk saat berhadapan dengan Romeo, ia tersenyum kecil dan tersipu. "Kau tak memberiku sapaan hangat?" Romeo menggodanya dengan merentangkan tangannya lebar-lebar di hadapan Joshua, yang segera saja menghambur ke dalam pelukan Romeo.

"Kau tampak mengagumkan." ujar Romeo setelah melepaskan pelukannya. Ia menjauhkan Joshua sejauh rentangan tangannya dan memeriksanya dari atas sampai bawah. "Rambutmu pasti sudah sangat panjang sampai kau harus mengikatnya."

Sepertinya sanjungan Romeo mengenai Jojo tepat sasaran, karena kini muka Jojo menjadi semerah kepiting rebus. "Um... terimakasih." gumam Jojo. Ia menunduj berusaha menutupi mukanya yang merah tapi sepertinya usahanya itu tak membuahkan hasil yang berarti, karena saat ini Romeo justru tertawa terbahak-bahak dan mencubit pipi Jojo gemas.

"Ihh... bikin gemes aja." gumam Romeo, sembari masih mencubiti kedua pipi Jojo.

"Oke oke. Cukup kalian berdua. Sekarang saatnya bekerja." Dev dengan tanpa rasa bersalah berjalan diantara keduanya, hingga mau tak mau mereka berdua berpisah.

Dev, dibantu para asistennya berdiri di depan layar. Satu diantara asisten itu berusaha merapikan gaun malam yang menjuntai panjang dan satunya lagi merapikan rambut Dev yang ditata menjadi bergelombang dan sedikit messy.

Gaun malam itu gaun malam terindah yang pernah dilihat dan dikenakan Dev, bahannya yang selembut sutra dan seringan chiffon membuat Dev tak henti-hentinya mengelusnya yang mana juga membuat asistennya mendesis dan menggeram seraya menjauhkan tangan Dev dari gaun itu.

Gaun itu juga dibuat sangat pas dengan ukuran tubuh Dev. Bagian dada yang sangat pas membuat payudaranya terlihat begitu mengundang dengan hiasan kelopak bunga dengan warna yang senada dengan gaun itu, membuatnya tak terkesan norak ataupun terlalu glamour. Sederhana tapi berkelas.

Bagian pinggangnya berhias pita besar di sebelah kiri dimana bukaan gaun itu bermula memperlihatkan kaki Dev yang jenjang dan indah. Dari bagian pinggang itu pula gaun itu jatuh menjuntai dengan elegan hingga sedikit menyentuh lantai. Sungguh mahakarya yang menawan.

Ia harus menghubungi desainer ini untuk membuat janji temu, dan ia harus memiliki gaun ini dan juga meminta desainer ini untuk tak lagi membuat gaun yang serupa. Ia tak suka jika memiliki gaun indah yang sama dengan orang lain.

Akhirnya para asisten itu pergi, meninggalkan Dev sendirian di depan layar dan mulai memeragakan gaun itu dalam berbagai pose. Dev cukup profesional, ia tahu apa yang diinginkan oleh sang photographer tanpa harus diarahkan lebih lanjut lagi. Hal ini membuat Jojo sang photographer hanya mengatakan beberapa kata dan kalimat singkat selain menekan shutternya berkali-kali.

"Oke, Dev ganti bajumu, lalu kita mulai lagi."

"Oke." ujar Dev pelan. Ia pergi dibantu asistennya yang tadi, tapi berhenti begitu sampi di samping Jojo yang duduk di depan perangkat komputer untuk mulai memilah-milah foto yang ingin ia kerjakan lebih lanjut. "Jo, beri aku kontak desiner ininya. Aku ingin bajunya."

"Lho, kamu belum tahu ya? Ini kan koleksi butik Rachmanita Darmawan." jawab Jojo bingung.

"Eh, kenapa mereka memintaku jadi modelnya?" tanya Dev bingung.

"Mereka kan memang ingin kerjasama denganmu." Jojo ikut bingung. Ia pikir Dev sudah tahu akan hal ini.

Dev segera bergegas menuju ruang ganti dan mengambil ponsel di dalam tasnya. Ia menekan nomor panggilan cepat yang segara terhubung dengan Felicia, PA nya.

"Ya Dev?" jawab Feli di seberang sana.

"Felicia." balas Dev dengan suara tertahan. Ia sedang berusaha mengendalikan emosiny yang sedikit memuncak. Badannya sudah lelah dari perjalanan jauh, dan sekarang ditambah dengan urusan yang harus diselesaikannya. "Kenapa aku bisa kerjasama dengan Rachmanita Darmawan?"

"Kau bilang suka dengan koleksinya dan ingin memajangnya di dalan FO kita." ujar Feli santai.

"Memangnya kapan aku mengatakan hal itu?" Dev mengerutkan dahinya bingung. Ia melihat asistennya melambaikan tangan padanya dan memberi syarat bahwa ia harus melepaskan gaun malam itu, jadi Dev menekan speakerphone dan suara Feli pun memenuhi ruang ganti kecil itu.

"Saat kita pulang dari acara amal tempo hari. Kau melihat gaun tante Reta di acara itu dan bertanya siapa desainernya. Yang mana setelah kau tahu hal itu, kau memintaku untuk segara membuat perjanjian kerjasama dengan pihak Rachmanita Darmawan.

"Kau bilang saat itu, aku mengutipnya karena aku masih ingat dengan sangat jelas, 'Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan desainnya yang sederhana tapi elegan? Aku heran mengapa kita tak merangkulnya untuk kerjasama sejak awal?'. Dan selanjutnya kau tahu sendiri lah. Dan perjanjian kerjasama ini baru dimulai beberapa hari yang lalu.

"Kupikir dengan menjadikanmu sebagai modelnya akan membuat perjanjian ini lebih kuat dan brand ini jadi laris di FO kita." jelas Feli panjang lebar.

Karya Rachmanita Darmawan memang luar biasa, ia harus mengakuinya. Gaun yang tadi dipakainya saja begitu indah, ia tak bisa membayangkan bagaimana koleksi lainnya yang belum sempat ia lihat?

"Buatkan aku janji temu dengan pihak Rachmanita Darmawan, Feli."

"I already did. Kau akan makan siang dengan Annisa Darmawan lusa. Kau yang pilih tempatnya."

"Annisa?"

"Salah satu anak perempuannya. Sejak beliau meninggal, butik diambil alih oleh anak perempuannya."

Dev membulatkan bibirnya dan mengangguk meski ia tahu Feli tak bisa melihatnya. "Ok, thanks Feli. You're the best."

"I am. Dan soal penawaran dari bank tempo hari..."

Penawaran dari bank...? Dev memutar otaknya cepat. "Oh! Ya, bagaimana dengan hal itu?"

"Aku sudah membuat penawaran balik. Kuharap kita berhasil mendapatkannya."

"Bagus." Dev melihat pantulan dirinya di cermin yang kali ini hanya berbalut bikini dan lingerie tipis yang hampir tak menutupi apapun. "Apa-apaan?! Feli, aku harus pergi." Dev tak menunggu jawaban dari seberang sana dan langsung memutuskan sambungan.

"Jojo!!!" Dev berteriak dan berderap menuju Jojo yang lagi-lagi sedang bermesraan dengan Romeo. "Kenapa aku pakai baju ini?" Dev berdiri di hadapan Jojo dan merentangkan kedua tangannya menunjukkan 'baju' yang sedang dipakainya.

"Koleksi musim panas." jawab Jojo kembali tak acuh. "Cantik kan?" ia mengedipkan matanya pada Dev, sementara Romeo di sebelahnya bersiul ketika melihat apa yang dikenakan Dev.

"Eh?" Dev mengerjapkan matanya tak percaya. Bikini dan lingerie ini begitu cantik, ia tak percaya kalau mereka juga punya koleksi seperti ini. Tapi yang membuat Dev bingung, kenapa ia juga harus memeragakannya?

Dev ingin menanyakan hal ini, tapi ia keburu diseret menuju depan layar. Jadi ia mengurungkan niatnya daan mulai berpose untuk Jojo.

"Yak! Bagus, Dev..."

"Tunjukkan bokong indahmu itu..."

"Tonjolkan payudaramu. Berdiri lebih tegak lagi. Buat pose yang menantang." yah kira-kira seperti itulah perintah dari Jojo yang diterimanya.

Setelah beberapa pose kemudian, Jojo berhenti dan berteriak pada Romeo yang duduk di pojokan sambil memainkan ponselnya. "Romeo, strip!!"

"Eh?" tanya Romeo dan Dev bersamaan.

"Temani Dev disana. Aku ingin sesuatu."

Sesuatu di kepala Dev akhirnya bersinar dan memberikan signal. Ia tahu apa alasan Jojo meminta Dev memakai bikini ini.

"Kemari Ro. Temani aku..." rayu Dev sedikit sensual. Romeo akhirnya mengerang dan bangkit. Ia pergi ke kamar ganti untuk melepas pakaian dan riasan juga hairstyle ringan sebelum bergabung dengan Dev di depan layar.

Romeo yang hanya mengenakan brief putih polos berdiri disamping Dev. Rambutnya ditata hingga tampak seperti habis bangun tidur dan dijambak habis oleh Dev. Bahkan ada riasan seperti bekas cakaran di punggungnya yang menghadap Jojo.

Di sisi lain, riasan Dev juga dibuat agak berantakan, lipstik yang luntur dan tercoreng dan rambut yang berantakan. Tangan kanan Romeo menghiasi pinggang Dev, dan punggung berkias bekas cakaran itu menghadap ke arah Jojo.

Jojo mengambil gambar mereka beberapa kali sebelum menyuruh Dev untuk membuka bra dan melonggarkan tali lingerie.

"Jojo, kau mulai kelewatan." hardik Dev, sementara Romeo hanya tersenyum dan menaik-turunkan alisnya dengan jenaka. "Kalau kau memang ingin melihat Romeo telanjang, kenapa tak kau minta saja terus terang, bukannya harus mengorbankan aku segala."

Dev masih menggerutu sementara ia memegang tali bra di tangan kanannya yang merangkul pundak Romeo yang masih terkekeh geli.

"Tenang saja, Dev. Mau kau telanjang juga aku tak tertarik sama sekali." bisik Romeo di telinganya, membuat Dev mendengus sebal.

"Justru itu adalah aib bagiku. Tak bisa membuat Romeo terangsang." Dev merberengut dan meraih tangan kiri Romeo untuk menutupi payudaranya. "Awas kalau sampai terlihat!!"

Romeo tertawa singkat dan mengeratkan pelukannya di dada Dev. Sementara tangannya yang satu lagi lari ke puncak kepalanya membuat rambutnya lebih berantakan lagi.

Jojo terus saja memberinya perintah dan kilatan lampu blitz menghujani mereka. Beberapa saat kemudian, barulah mereka selesai.

"Akan kukirim hasilnya ke email mu ya." ucap Jojo singkat saat ia berjalan melewatinya.

"Jadi sebenarnya kau hanya ingin melihatku telanjang. Ya kan?" goda Romeo. Ia mengedipkan matanya pada Jojo, masih hanya mengenakan brief dan berdiri tepat dihadapan Jojo yang kembali merona dan sedikit salah tingkah.

"Goda orang lain, Ro. Dia sudah punya suami." potong sebuah suara serak di sudut ruangan.

"Ih, piaraannya datang. Kabuuurrrr..." Romeo berlari cepat menyusul Dev ke ruang ganti, tak lupa ia menggoyangkan pantatnya ke arah Jojo untuk menggodanya.

 

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...
~

You might like FantaC's other books...