Maafkan aku, bu...

 

Tablo reader up chevron

Maafkan aku, bu...

“Ibu, Aku gay.”

“Apa itu gay?” Tanya Ibuku dengan kepolosannya, entah kenapa rasanya makin tua Ia semakin polos saja. Kemudian sambil tetap sibuk menyiapkan makan malam untukku dia terus mengoceh, “Aku tidak peduli apa profesimu. Cobalah temui Annisa sesekali. Dia gadis yang baik, kalau kau tidak suka Zul karena dia gadis rumahan, Annisa ini wanita karir. Dia bekerja di Bank dan baru saja lulus S2 di Universitas apa gitu. Ibu lupa.”

Aku sudah tau kepulanganku kali inipun akan berujung seperti ini. Adikku, Hambali , sudah menikah dan punya anak. Kakakku Aisyah sudah memilik 3 orang putra dan putri yang luar biasa. Tinggal aku. Aku yang belum bisa memenuhi keinginannya untuk menikah, sebanyak apapun uang yang kukirimkan untuknya tidak membuatnya bahagia.

“Aku homo dan aku sudah punya pacar.”

Dia diam. Mungkin dia masih mengira homo itu suatu profesi.

“Apa maksudmu kau punya pacar? Kalau kau punya pacar, ajak dia kerumah! Usiamu sudah 32 tahun. Mau sampai kapan kau membujang?”

Malam ini aku sudah bertekad untuk mengatakan semuanya. Di hari pertama kedatanganku, seluruh keluarga berkumpul dan aku tidak ingin menyulut keributan. Malam ini, saat semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing dan hanya meninggalkan aku dan ibu, aku merasa saat inilah saatnya. Saat yang tidak pernah tepat, karena memang tidak akan pernah ada saat yang tepat untuk menyampaikan berita seperti ini.

Aku mencintaimu, ibu... Tapi aku tidak bisa menipumu lebih lama lagi.

“Ibu.” Kataku lembut, “Cobalah diam dan dengarkan aku. Aku homo dan aku punya pacar pria. Kami sudah tinggal bersama di Jakarta.”

Ibuku akhirnya berhenti. Ia mengernyit seperti sedang memastikan pendengarannya tapi aku takut mengulanginya sekali lagi. Tangan-tangan rentanya bergetar memegang centong nasi.

Kalau saat ini Ayahku masih hidup, aku pasti ditendang dari rumah. Atau dimandikan dengan air sumur, diikat di pohon di belakang rumah dan dibiarkan menggigil sampai pagi. Atau dia akan menggantungku terbalik dengan kaki diatas, ah... mungkin aku akan benar-benar digantungnya sampai leherku patah.

Tapi ibu... sungguh aku lebih baik melihat Ayah yang marah daripada melihatmu seperti ini. Mungkin sebaiknya aku tidak mengatakan apapun, sebaiknya kubiarkan saja Ia tak tau.

“Apa maksudmu?” Tanyanya linglung.

“Ibu, aku tau kau mendengarnya.”

“Apa itu homo?”

Aku mendengus lirih.

“Jangan mendengus.” Perintahnya.

“Aku homo. Aku tidak suka wanita, oke?” Rasanya aku menjerit atau malah mengucapkannya terlalu pelan aku tidak yakin, tapi Ibu menjatuhkan centong nasinya dan terduduk dengan wajah kosong. Tatapannya kearahku, tapi aku tidak merasa sedang ditatapnya.

Aku ingat ekspresi ini.

Ini adalah ekspresinya ketika jasad Ayah dipulangkan oleh kesatuan karena terbunuh dalam baku tembak dengan teroris lima tahun yang lalu. Aku ingat betul wajahnya yang seperti ini, ia tidak menangis atau histeris. Ia hanya diam seperti patung.

“Ibu...” Aku memanggilnya, tapi tidak berani mendekat.

“Kau tidak homo.” Sangkalnya, sebuah senyum yang aneh muncul dari bibirnya,”Anak bodoh. Sejak kau masih kecil, kau paling gagah diantara kawan-kawanmu. Saat kita tinggal di Jepang mereka memanggilmu anak gagah dari seberang lautan. Kau tidak homo. Kau salah.”

“Ibu, aku memang tidak banci. Aku tidak memakai pakaian perempuan... Aku pria normal, bu. Tapi aku...”

“Lalu apa maksudmu?”

“Aku menyukai sesama jenis. Aku mencintai pacarku seperti ibu mencintai Ayah. Seperti Ayah mencintai ibu. Seperti pria mencintai wanita, seperti wanita mencintai pria.”

“Kalau sama seperti itu, kenapa kau tidak mencintai wanita saja? Kau bisa pilih wanita manapun yang kau sukai. Tidak perlu Zul atau Annisa, siapa saja. Ibu akan datangi rumahnya untuk kau jadikan istri!”

“Ibu... Aku minta maaf.”

“Jangan minta maaf.”

“Tapi aku tetap ingin minta maaf, bu...” Aku menangis, aku sudah lupa kapan aku terakhir kali menangis dihadapannya. Ah... Oh iya, lebaran tahun ini. Ya setiap tahun di saat lebaran aku selalu menangis di pangkuannya. Wanita yang kukasihi, wanita satu-satunya yang kucintai. Wanita yang akan kurelakan nyawaku untuknya, wanita yang aku tidak tega menipunya lebih lama. Ibu... Maafkan aku bu... Tapi aku sudah mencoba. Sekuat hatiku, semampuku. Dan semampuku bukan seperti kemampuan orang lain. Aku bukan orang yang mudah menyerah, tapi untuk kali ini aku menyerah.

“Kau tahu kisah nabi nuh?” Bisik Ibu.

Aku tahu.

“Kau tahu itu dosa besar?”

Aku tahu.

“Jangan pernah meminta pertanggung jawaban Ayah atau Ibumu di akhirat nanti kalau kau sudah tau dan tetap bersikeras. Mulai saat ini kau bukan anakku, pergi dari sini. Kukembalikan kau pada pemilikmu yang sebenarnya dan kubiarkan IA yang memberimu hukuman. Aku lepas tangan. Aku tidak punya tenaga untuk menghajarmu...”

Suaranya bergetar, wajahnya berpaling dan menangis sedu sedan. Aku tidak punya pilihan selain menyetujuinya. Aku mencintaimu, Ibu... Ijinkan aku tetap mencintaimu.

Malam itu aku pulang kembali ke Jakarta tanpa mencium tangan atau memeluknya seperti biasa.

Apa kesalahan masa kecilmu yang paling tidak bisa kau maafkan?

Mengutil? Mengintip ruang ganti baju anak perempuan? Mencuri uang belanja ibumu? Memukuli temanmu yang lemah sampai terkencing-kencing di celana?

Kesalahan di masa kecilku adalah mencium seorang anak laki-laki dan anak itu menjadi seorang gay. Aku tidak bisa memaafkan diriku hingga aku menemuinya ke tempat yang sangat jauh dan justru jatuh cinta padanya. Namanya Fujiwara Kyosuke. Teman sekelasku saat aku tinggal di Jepang karena Ayah dinas disana.

Ayahku menjadi seorang pengawal kedubes dan keluargaku tinggal di jepang karena kebetulan ibupun bekerja sebagai sekretaris pribadi ibu kedubes. Aku tinggal dijepang sejak usiaku 10 tahun hingga 15 tahun. Kami bertiga sekolah di sekolah Internasional, sekolah dengan pengantar pelajaran bahasa Inggris. Tentu saja aku bisa berbicara bahasa Jepang, tapi kemampuanku itu tak mungkin membuatku bersekolah di sekolah umum.

Kyosuke-kun adalah anak yang sangat manis. Sebelum kembali ke Jepang, Ia tinggal bersama Ibunya di Australia. Dia sangat tampan dan kami sangat dekat satu sama lain. Kami berteman sangat baik hingga suatu saat ketika aku harus kembali pulang ke Indonesia, aku tidak tahu kenapa aku mencium mulutnya saat perpisahan. Dia tampak shock dan aku tidak punya kesempatan untuk meminta maaf.

15 tahun kemudian sebuah email dari sekolah lamaku mengundang reuni akbar dan aku datang. Aku menulis novel di Indonesia, aku mencetak banyak uang dari royalti dan membuatku datang ke jepang dengan budget liburan. Disana aku bertemu dengannya, seorang pria halus yang sudah dewasa. Aku melihatnya menatapku dan sejenak aku menyadari kenapa hubunganku dengan beberapa wanita tidak pernah berhasil.

“Akbaru kun... Long time no see.” Katanya malu-malu.

Malam itu berakhir di apartemennya dengan ciuman dan pelukan yang terlalu banyak sampai aku kehilangan hitungan. Ya ampun... Aku gay. Aku gay dan baru menyadarinya 15 tahun kemudian.

“I can not get off my mind of that kiss you gave me.” Katanya malam itu, “And I can not get a girl since i lost interest of them. As I graduated from High school i dated several men but i still have a hope on you.”

1 dari 10 pria dijepang adalah biseksual. 1 diantara 10 biseksual adalah gay murni. Aku tidak tahu bagaimana di Indonesia, karena aku tidak menyadari perbedaanku dengan pria normal yang lain aku tidak pernah mencari tahu keberadaan orang-orang sejenisku.

Terlebih lagi, pria ini menyadari bahwa Ia gay setelah aku menciumnya. Apakah aku punya hati untuk meninggalkannya sendirian? Selama ini aku tidak pernah memiliki keraguan untuk menerimanya, sampai aku melihat Ibu.

“Ah! Welcome back!”

Dia menyambutku, aku tiba di jakarta keesokan paginya. Kyosuke kun sudah tinggal di Jakarta sejak 5 bulan ini, Ia meninggalkan usaha toko elektronik milik keluarganya untuk tinggal bersamaku disini. Tapi sesungguhnya aku ingin kembali ke Jepang, aku ingin menghindar dari keluargaku, menghindar dari kemungkinan ada orang yang kami kenal dan mengetahui mengenai kami berdua. Aku ngeri membayangkan keluargaku harus menanggung malu.

“How was your mother?” Tanyanya.

“I told her about us.”

Wajahnya memucat, dia tahu itu buruk. Sangat buruk. Bahkan di Jepang, keluarganya tidak tahu mengenai orientasi seksualnya yang menyimpang. Ia menyimpannya baik-baik.

“What do you mean?” Ia histeris, “She must have been hurt so much, Akbaru kun! You must not let her know!”

“I can not stand it. I can’t lie to her any longer.”

“Is she trying to push you to another mariage proposal?”

Aku mengangguk sedih.

“Why didn’t you simply refuse it?”

“I don’t know!!”

Aku membentaknya. Aku tidak pernah berkata kasar padanya selama ini. Mengingat keterbatasan komunikasi dan perbedaan budaya yang kami miliki, aku sudah memutuskan bahwa bersikap halus dan lembut adalah bahasa yang universal. Aku sudah mencapai batasku, aku sudah menekan penat di ujung kerongkonganku. Aku tidak kuat untuk tidak menyemburkannya menjadi nyala api.

Dia duduk di lantai agak jauh dari tempatku termenung di sofa. Ia hampir menangis dan membekap mulutnya untuk menahan diri. Aku tahu Ia menyadarinya. Ia tahu benar betapa aku mencintai Ibu. Mengakui bahwa aku gay sama saja dengan menempatkan dirinya disisi Ibu dan aku harus memilih. Ia tahu Ia mungkin akan kalah bersaing dengan Ibuku. Ia takut. Aku tahu Ia takut akan kemungkinan besar aku akan membuangnya.

“You can cry.” Kataku, “I’ve cried so hard last night on train way back here. It’s Okay if you cry now...”

“What is that supposed to mean?” Bisiknya,”Are you trying to let go of me?”

Aku tahu dia tidak lagi berbicara banyak bahasa Inggris sejak kembali ke Jepang, komunikasi kami tidak terlalu bagus kecuali saat kami bertukar saliva. Dan aku hampir tidak lagi bisa membuat kalimat berbahasa Jepang yang utuh. Aku merasa geli dalam lautan kesedihan ini, kami berdua seperti anak itik yang salah masuk ke hutan.

“I don’t understand so much English as much as you do.” Katanya, “I only know that I love you, Akbaru kun. I love you so much it hurts...”

Ibu... Aku mencintaimu. Sama seperti kau yang melahirkanku ke dunia ini, aku lah yang sudah melahirkannya dan menjadikannya seperti Ia saat ini. Sama seperti Aisyah yang membagi tanggung jawabku dan Ayah dengan bersuamikan suaminya atau Hambali yang mengambil tanggung jawab menjaga anak orang dan mengambilnya sebagai istri, aku juga sudah mengambil orang ini, bu... Sejak 17 tahun yang lalu. Sementara aku hidup dalam nikmatnya ketidak tahuanku, dia berjuang sendirian karena aku meninggalkannya.

Aku melebarkan lenganku dan membiarkannya tenggelam dalam pelukan.

“Boku wa aishiteru...” Bisikku... Kau mencintaiku, “I love you too, Kyosuke kun... It has always been you...”

Mungkin akan terus ada keraguan-keraguan dari keputusan ini, terutama jika aku mengingat gurat tua di wajah Ibuku. Betapa aku ingin meminta maaf padamu, ibu... Berapa lebaran lagikah kau akan menerimaku kembali menangis di pangkuanmu?

Maafkan aku, bu...

Comment Log in or Join Tablo to comment on this chapter...
~

You might like Kincirmainan's other books...